Sabtu, 13 Juli 2013

Model Praktis Teologi (Islam) Modern

www.dpu-online.com
Siang itu peraih Nobel Perdamaian Tahun 2006 datang mengenakan pakaian khas Bengali (baju koko plus rompi coklat muda). Tampak bersahaja, yang mencerminkan hidupnya sehari-hari bergaul dengan kaum miskin.

Di gedung bersejarah itu, lelaki kelahiran Chittagong, Bangladesh, 28 Juni 1940, yang bernama Muhammad Yunus ini duduk sejajar dengan Danny Setiawan, Ganjar Kurnia, dan Burhanuddin Abdullah.

Sosok yang berhasil meningkatkan tarap hidup masyarakat miskin Bangladesh ini hadir memberikan kuliah umum yang bertajuk "Kredit Kecil untuk Mengentaskan Kemiskinan", yang merupakan bagian dari kegiatan Dies Natalis Ke-50 Universitas Padjadjaran (UNPAD) Bandung, di Gedung Merdeka, Jalan Asia Afrika, Bandung, Rabu (8/8/2007).

Muhammad Yunus yang berbicara setelah Gubernur Jabar, menyampaikan bahwa pendirian Grameen Bank (Bank Pedesaan) yang didirikannya pada 1970-an di Bangladesh, menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa kemiskinan tidak tercipta karena warga miskin.

"Mereka hanyalah korban dari sistem yang tidak memberikan kesempatan yang sama bagi semua kalangan agar bisa bangkit, bekerja, dan berkreasi sesuai kemampuan masing-masing," ungkapnya.

Menurut doktor lulusan Universitas Vanderbilt ini, sejak dimulainya program kredit mikro khusus rakyat miskin pada 1976 dari Grameen Bank, hingga kini jumlah nasabah bank itu mencapai sekitar 7,4 juta orang di Bangladesh.

Lebih jauh, suami dari Afrozi dan ayah dari Deena dan Monica ini menjelaskan, inti dari keberhasilan pengelolaan dana bergulir untuk kaum miskin oleh Grameen Bank adalah mengembangkan sisi kemanusiaan dari setiap manusia.

Mengenai konsep perbankan yang dikembangkan Grameen Bank, kata Yunus, merupakan antitesis dari konsep perbankan konvensional. "Bank konvensional untuk yang kuat. Grameen Bank khusus melayani rakyat miskin. Karena itu kami tidak memusingkan mereka dengan kelengkapan berbagai dokumen atau setumpuk kertas yang harus diisi. Yang penting, mereka tidak perlu memiliki agunan, karena barang kecil pun mereka tidak punya," katanya.

Program pembiayaan kredit mikro kaum dhuafa yang dikembangkan Muhammad Yunus telah mengilhami lahirnya program Microfinance Syariah berbasis Masyarakat (Misykat) yang didirikan oleh Lembaga Amil Zakat Nasional Dompet Peduli Ummat (DPU) Daarut Tauhiid dengan perubahan dan penyesuaian oleh Ir. Iwan Rudi Saktiawan, M.Ag, sejak 5 tahun silam.

Misykat sendiri, kata Iwan, merupakan lembaga keuangan mikro untuk orang-orang miskin yang dananya berasal dari zakat, infak, dan sedekah (ZIS) yang dikhususkan untuk pemberian dana modal usaha kaum dhuafa. Mereka yang mendapatkan modal dari Misykat lantas diharuskan membuka usaha atau bisnis secara mandiri. Namun sebelumnya, kaum dhuafa dan miskin diharuskan terlebih dahulu mengajukan dan mengikuti pembekalan untuk mengelola uang akan diterimanya nanti. Mereka tiap pekan mengikuti kegiatan pendampingan yang dipandu seorang staf Misykat.

Selain mendapatkan materi yang berkaitan dengan kewirausahaan, leadership, manajemen keuangan, juga pengetahuan kerohanian (agama) untuk memotivasi mereka. Setelah memahami dan mengetahui tujuan dari uang yang didapatkan dari Misykat, lantas mereka diberi modal dan diwajibkan untuk melaporkan aktivitasnya itu. Mereka yang menjadi anggota Misykat ini punya kewajiban untuk membantu berjalannya program-program pemberdayaan yang dikembangkan Misykat.

"Saya mempraktikannya di Bandung bekerja sama dengan DPU Daarut Tauhiid.  Alhamdulillah sudah banyak kaum dhuafa dan orang miskin, terutama ibu-ibu yang jadi anggota Misykat. Saya lihat ada beberapa karya buah tangan mereka seperti hiasan kembang, peci dan sarung hp rajut, makanan ringan, telor asin, kripik ceker ayam dan lainnya, yang dijual di kawasan Pesantren Daarut Tauhiid. Dari laporan-laporan yang masuk tampak bahwa mereka mengalami peningkatan ekonomi dan mulai terlibat dalam kegiatan keagamaan di sekitar tempat tinggalnya. Saya kira ini bukti nyata bahwa dana umat Islam, baik itu zakat maupun sedekah bisa menjadi solusi memberdayakan masyarakat," ujar Iwan saat diwawancarai beberapa waktu lalu.

Mereka yang sudah cukup berdaya dan mengalami peningkatan dalam ekonomi, kemudian dimandirikan sekaligus membuktikan bahwa pendampingan, pelatihan, dan pembinaan yang diterimanya itu bermanfaat dan bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Mereka juga dianjurkan untuk berbagi dan membantu kaum dhuafa atau mereka yang belum berdaya dengan menjadi donatur.

"Setelah mereka cukup dan agar tidak menjadi tamak, kami imbau menjalankan ibadah sosialnya berupa sedekah atau infak khusus untuk pemberdayaan. Jadi, Misykat ini dari umat untuk umat," tambahnya.

Hingga kini, Misykat telah menjadi program pemberdayaan (unggulan) Lembaga Amil Zakat Nasional DPU Daarut Tauhiidyang dikembangkan tidak hanya di Bandung, tapi juga di Jakarta, Tasikmalaya, Semarang, Garut, Jogyakarta, Lampung, Palembang, dan Aceh.

Bila direnungkan lebih jauh, geliat pemberdayaan yang dilakukan Grameen Bank maupun Misykat, merupakan wujud lain implementasi keimanan dan keislaman dalam konteks sosial kemasyarakatan.

Sebagaimana dikemukakan oleh Abdul A'la, Guru Besar IAIN Sunan Ampel, Surabaya, bahwa "pengembangan zakat produktif dengan tujuan pemberdayaan umat tidak bisa berhenti sebatas pada wacana fikih zakat semata. Zakat dengan karakter transformatif perlu disikapi dari sisi teologis. Zakat tidak bisa dipahami dari sisi wajib dan tidak wajib, tapi harus lebih menukik pada dasar keimanan, sebagai salah satu dimensi dari ketauhidan yang dianut umat Islam. Dengan menjadikan zakat sebagai ajaran teologis, umat Islam tidak bisa menganggap cukup dengan hanya mengeluarkan zakat serta setelah itu abai terhadap proses dan dampaknya. Mereka justru dituntut untuk melaksanakan zakat dengan niat yang benar, melalui proses yang sejalan dengan tujuan dan ajaran agama, yaitu melabuhkan keadilan, kesetaraan, dan kesejahteran bagi umat manusia" (www.jawapos.co m).

Jadi, benarlah bahwa pegembangan pemberdayaan umat merupakan bentuk aksi dari teologi Islam modern, yang tidak hanya menawarkan keselamatan akhirat tapi juga kesejahteraan umat secara bersama di dunia ini. Semoga banyak orang yang tergerak dan ikut berpatisifasi di dalamnya, sehingga umat Islam Indonesia tidak berwajah bom dan radikalisme.

(Ahmad Sahidin, S.Hum, Mantan Jurnalis Majalah Swadaya dan Alumni Lembaga Amil Zakat Nasional Dompet Peduli Ummat (DPU) Daarut Tauhiid  Bandung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar