Rabu, 17 Juli 2013

Jalan Sukses Dunia Akhirat

www.dpu-online.com
Latar belakang tulisan ini berawal dari fenomena keterpurukan bangsa Indonesia dari sisi ekonomi.Kondisi memperihatinkan tersebut terus berlangsung, hingga di sebuah media kabar diberitakan terdapat lebih dari 43 juta pengangguran di Indonesia. Pada tahun 2005, ada daerah di Indonesia yang penduduknya kurang dari 2 juta jiwa, memiliki pengangguran sebanyak 500 orang dengan kualifikasi S1.

Berangkat dari sejarah, Ahmad Mansur Suryanegara dalam ‘Api Sejarah' menyatakan bahwa untuk menguasai perekonomian Indonesia, Belanda  mendistorsikan sejarah Indonesia. Robert L Heilbroner (1962) menyatakan bahwaHomo Mercator vix out numquam Deo placere potest , wirausahawan sangat langka atau tidak pernah disukai oleh Tuhan. Hal ini mengakibatkan penganut Katolik tidak mau lagi menjadi wirausahawan. Sehingga, pasar menjadi kosong dari orang Nasrani. Kemudian, pelaku pasar digantikan oleh orang Yahudi.

Dengan cara persis serupa, disebarkan ‘ajaran Islam' dengan muatan isi yang sama melalui hadis yang dipalsukan, bahwa Allah menyukai orang-orang di masjid daripada di pasar. Dampaknya, secara perlahan-lahan patahlah budaya niaga dan kesadaran upaya penguasaan pasar oleh kalangan pribumi. Pasar yang disita serta kekuasaan ekonominya dipatahkan, dan pribumi Islam menjadi sangat terbelakang hingga saat ini. (Ahmad Mansur Suryanegara: 2009).

Lalu, kira-kira apa yang membuat keterpurukan ini terus berlanjut hingga sekarang? Apakah spiritualitas mampu mengeluarkan kita dari masalah berkepanjangan ini?

Dalam Ary Ginanjar(2005), pada tahun 2002 di Harvard Business School diadakan seminar yang berjudul ‘Does Spirituality drive success in business?'. Seminar diikuti oleh para CEO dari berbagai negara. Hasilnya, mereka menyepakati bahwa spiritual dipercaya mampu melahirkan integritas, energi, inspirasi, wisdom dan keberanian.

DR.Gay Hendricks dan DR. Kate Ludeman dalam bukunya yang berjudul The Corporate Mystics, meneliti berbagai perusahaan selama lebih dari 20 tahun. Ia menyimpulkan bahwa seseorang bisa menemukan para mistikus (sufi) perusahaan di meja-meja rapat dan bukan di tempat peribadatan. Mereka (para sufi) mengetahui nilai-nilai spiritual yang tinggi dan mereka mengaplikasikan nilai-nilai itu pada perusahaannya, sehingga perusahaannya maju dan mendominasi.

Para sufi atau mistikus-mistikus korporasi itu adalah orang-orang yang memahami nilai-nilai spiritual. Nilai-nilai spiritual yang mereka pegang dan mereka aplikasikan dalam perusahaan mereka adalah kejujuran, keadilan, mengetahui hakikat dirinya, fokus pada kontribusi, non dogmatis, mampu membangkitkan yang terbaik dari diri sendiri maupun orang lain, terbuka pada perubahan, visioner serta memiliki disiplinyang ketat dan keseimbangan. Kesembilan nilai inilah yang mereka (para sufi korporasi) pegang dan amalkan. Mereka juga mampu membawa perusahaan kepada kesuksesan.

Kiranya sangat jelas bahwa nilai-nilai spiritual itu mampu mengantarkan seseorang pada kesuksesan. Mereka yang mengaplikasikan nilai-nilai tersebut terangkat derajatnya dan muncul sebagai orang sukses. Nilai-nilai spiritual tersebut adalah asma atau sifat-sifat Allah, yang Allah tiupkan pada manusia ketika manusia berada di alam ruh. Sebagaimana firman Allah:

"Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfitrman): ‘Bukankah Aku ini Rabbmu?' mereka menjawab: ‘Betul (Engkau Rabb kami), kami menjadi saksi'. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: ‘Sesunggunya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Allah)." (QS al-A'raaf [7]: 172).

Perjanjian itulah yang membuat manusia menjunjung tinggi nilai-nilai spiritual. Perjanjian itu pula yang membuat manusia merindukan sifat-sifat mulia (asma Allah) yang ditiupkan kepadanya. Mereka yang mengikuti ‘pola' tersebut insya Allah akan sukses. Bukan hanya kekayaan tapi juga derajat dan harga diri mereka akan terangkat.

Pandangan Islam tentang Kesuksesan
"Barang siapa yang menjadikan akhirat sebagai seluruh tujuan dari tujuan-tujuannya, maka Alloh akan mencukupi duniawinya. Dan barangsiapa yang memperbanyak tujuan-tujuannya untuk dunia, maka Allah tidak peduli di lembah mana ia akan dibinasakan." (HR. Ibnu Majjah dan al-Hakim).

"Wahai Dunia jika hambaku mengejarmu maka perbudaklah dia olehmu. Namun, jika Allah tujuannya jadilah engkau (Dunia) takluk pada hambaku." (Hadist Qudsi)

Dari hadis di atas dapat disimpulkan bahwa Allah menjanjikan kesuksesan dunia bagi mereka yang berorientasi hanya mengejar keridhaan Allah. Dengan kata lain, kesuksesan dunia dan akhirat bukan omong kosong. Kita dapat meraih keduanya dengan syarat menjadikan Allah sebagai tujuan hidup. Ini adalah janji-Nya. Namun, jika tujuan hidupnya adalah dunia (harta, tahta dan wanita), ia akan diperbudak olehnya. Tidak ada yang dia dapat selain kehinaan, dan di akhirat menjadi orang merugi.

Allah telah memberikan kepercayaan-Nya terhadap manusia untuk menjadi pemimpin di bumi-Nya. Memberikan tugas yang mulia kepada manusia untuk mengurusi bumi Allah. Karena itu, kaya dan memiliki pengetahuan yang luas bukan lagi jadi pilihan bagi mukmin, melainkan kewajiban. Hanya dengan menjadikan Allah sebagai landasan dan tujuan hidup, meyakini bahwa menjadi kaya dan memiliki pengetahuan luas dengan dilandasi tauhid yang kuat adalah perintah Allah dan wajib hukumnya, jadi kunci mengeluarkan manusia dari kehinaan dan keterpurukan seperti saat ini.

(Arbi Achmad Soleh, mahasiswa pascasarjana ITB Jurusan Arsitektur)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar