Selasa, 23 Juli 2013

Menapaki Jalan Tauhid dengan Zakat Memandirikan

www.dpu-online.com
Zakat adalah salah satu dari pilar Islam. Sebagai rukun ketiga dari rukun Islam, keberadaan zakat menjadi mutlak dilakukan. Meninggalkannya sama saja dengan melalaikan kewajiban utama lainnya seperti syahadat, salat, puasa di bulan Ramadan dan berhaji.

Bahkan dalam surah Al-Maidah [5]: 55, Allah berfirman, “Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan salat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada) Allah.” Para ulama menafsirkan ayat ini sebagai indikasi jika salat adalah ibadah yang sifatnya vertikal, maka zakat merupakan ibadah horizontal. Salat berdimensi langsung ke Allah, sedangkan zakat adalah wujud dari kasih sayang Allah kepada manusia, yang manfaatnya dapat dirasakan oleh manusia di kehidupan dunia (berdimensi sosial).

Sejarah pun mencatat bahwa zakat mulai diwajibkan pada tahun kedua hijriyah. Ayat-ayat tentang zakat sudah diturunkan kepada Muhammad saw ketika beliau masih berada di Makkah untuk melakukan pembinaan akidah dan keyakinan umat. Ayat-ayat Quran seperti, "Dirikanlah salat, bayarlah zakat dan rukuklah bersama orang yang rukuk." (QS. Al-Baqarah [2]: 43); "Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia hak tertentu buat orang yang meminta-minta dan orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta)." (QS. Al-Ma'arij [70], 24-25), menjadi dasar legitimasinya.

Sehingga bagi siapa pun yang menolak berzakat padahal secara syariat telah wajib baginya untuk berzakat, maka ia bisa dianggap kafir. Terlepas dari agama Islam atau komunitas masyarakat muslim, dan tidak ada bedanya dengan orang-orang musyrik. Hal ini selaras dengan firman Allah di surah Fushshilat [41]: 6-7 yang berbunyi, “… Dan kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang menpersekutukan-Nya, (yaitu) orang-orang yang tidak menunaikan zakat dan mereka kafir akan adanya (kehidupan) akhirat.”    

Zakat untuk Kemandirian
Hanya saja, ketika seseorang berzakat tidak lantas dimensi sosial dari zakat dapat terealisasikan. Zakat menjadi efektif ketika pengelolaannya juga efektif. Tak sekadar bersifat musiman atau berjangka pendek. Bersifat musiman artinya pengelola zakat (amil) tidak hanya bekerja ketika momen-momen tertentu (seperti pengelolaan zakat fitrah di bulan puasa), tapi sepanjang waktu atau berkesinambungan. 

Adapun tidak berjangka pendek maksudnya dana zakat yang terkumpul tak hanya digunakan untuk hal-hal yang sifatnya charity atau pembagian bersifat konsumtif. Tapi, dana zakat juga dibagikan pada hal yang bersifat produktif, dengan tetap tidak melupakan aspek konsumtifnya.

Mengapa hal ini perlu dilakukan? Karena, pada pembagian konsumtif, para penerima zakat biasanya hanya tertolong dalam jangka pendek. Bisa sehari, seminggu, atau paling lama sebulan. Tetapi, jika dana zakat juga dialokasilan untuk memiliki daya manfaat yang lebih panjang bagi mustahiknya, maka harus diberikan dalam kerangka pemberdayaan (ekonomi) umat.

Kemandirian pun jadi goalnya. Yaitu dengan menanamkan visi bagaimana zakat bukan sekadar untuk kebutuhan konsumtif yang bersifat jangka pendek, tetapi lebih produktif dalam kerangka jangka panjang. Sehingga jika hari ini dan tahun ini para mustahik menjadi penerima zakat, tahun depan mereka berubah menjadi pemberi zakat (muzakki).

Dengan menjadikan zakat yang bersifat pemberdayaan sebagai visi, berarti menjadikan umat punya jiwa kemandirian. Tidak tergadai izzah atau harga dirinya, dan tidak bergantung kepada siapa pun, kecuali hanya kepada Allah SWT. Inilah benang merah yang menautkan kewajiban salat dan zakat sebagai dua ibadah yang sering disebutkan dalam Quran sebagai satu kesatuan. Insya Allah akan mengantarkan seseorang ke jalan yang lurus, yaitu jalan tauhid. (Suhendri Cahya Purnama, editor portal dpu-online.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar