Jumat, 21 Juni 2013

Terhormat Meninggalkan Syubhat


"Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Di antara keduanya ada perkara yang syubhat yang kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. Barang siapa yang menjaga dari yang syubhat, berarti dia telah menjaga dien (agama) dan kehormatannya, dan barang siapa yang terjerumus dalam syubhat berarti dia telah terjerumus kepada yang haram. Sebagaimana seorang pengembala yang mengembala di sekitar larangan, maka lambat laun akan masuk ke dalamnya. Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki daerah larangan. Ada pun daerah larangan Allah adalah apa yang diharamkan-Nya." (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadis tersebut memiliki makna bahwa sesungguhnya yang halal itu jelas, yang haram juga jelas. Dan di antara keduanya terdapat yang samar-samar (syubhat). Barangsiapa yang mampu menjaga dirinya dari perbuatan-perbuatan yang syubhat, maka sesungguhnya ia sudah membersihkan dirinya. Barangsiapa yang terlibat terhadap hal-hal yang syubhat, maka sama saja ia sudah melakukan sesuatu yang haram.


Dari hadis tadi, kita bisa mengambil pelajaran penting bahwa Islam hadir dengan segala kejelasannya, keutuhannya, yang mudah dicerna oleh nalar manusia. Islam dianugerahkan Allah untuk seluruh manusia dengan tidak membeda-bedakan latar belakang, pendidikan, ekonomi, etnis, suku bangsa, atau apa pun yang ada di kalangan kita. Berarti bahwa kejelasan dan keutuhan Islam itu sesungguhnya nyata di hadapan kita. Sehingga yang haram dan halal itu mudah dipahami. Misalnya, pada makanan yang halal itu sudah jelas, tidak perlu dipertanyakan lagi. Bahkan dalam nilai-nilai universal pun menganggap hal-hal ini sesuatu yang jelas. Contoh lain, kejujuran adalah halal dan kebohongan adalah haram. Menyakiti orang lain itu haram, tetapi memuliakan orang lain adalah halal.

Dalam kehidupan ini Allah memberikan aturan bagi kehidupan manusia dengan jelas. Tetapi memang ada masih ada hal-hal yang perlu dijelaskan secara lebih detil. Jika masih samar-samar, maka perkara tersebut termasuk syubhat. Syubhat maksudnya tidak jelas apakah termasuk halal atau haram. Dan yang terbaik menyikapi hal yang syubhat adalah meninggalkannya. Untuk itu, dalam hadis di atas Rasulullah saw mengatakan bahwa tidak dipungkiri di antara yang halal dan haram itu pun juga terdapat urusan-urusan yang syubhat.


Allah SWT telah mengisyaratkan bahwa untuk hal-hal seperti ini memang tidak banyak manusia yang mengetahuinya. Hanya sebagian saja yang tahu, yaitu mereka yang berilmu, mempelajari Al Quran dan hadis, dan bersikap wara' dalam kehidupan keberagamaannya. Merekalah yang kemudian mampu memiliki kejelasan yang samar-samar tadi, apakah itu halal dan haram. Sebagaimana firman-Nya, "...Dan sungguh Allah telah menerangkan kepadamu apa-apa yang Ia haramkan atas kamu..." (QS. Al An'am [6]: 119).


Walaupun demikian Rasulullah saw tidak menjerumuskan kita. Artinya, merekalah (orang-orang yang berilmu tersebut) yang kemudian yang mampu mengetahui kejelasan-kejelasan sesuatu yang samar-samar tadi, seperti halal atau haram. Jika begitu apakah yang beruntung adalah orang berilmu saja? Bagi yang tidak memiliki ilmu terhadap sesuatu yang haram dan halal itu diberikan aturan main. Kata Rasulullah saw, kalau kemudian kita mampu meninggalkan perbuatan-perbuatan syubhat, makanan-makanan syubhat maka sungguh kita sudah membersihkan diri kita dari sisi agama kita dan juga sisi kehormatan kita.

 
Misalnya merokok itu sebagian mengatakan makruh, ada juga halal. Di sebagian banyak orang adalah antara halal dan haram. Maka yang harus dilakukan oleh kita yaitu meninggalkannya. Kenapa? Karena itu yang diinginkan Rasulullah saw. Jika kemudian kita tidak merokok, sungguh kita sudah membersihkan diri, kehormatan kita. Jadi, orang yang berhenti merokok itu adalah orang yang terhormat. Kenapa demikian, karena dia tidak akan berhadapan dengan orang-orang yang tidak setuju merokok atau orang-orang yang mengharamkan rokok.


Apabila ia berbuat syubhat, apakah itu ucapan, makanan, perilaku maka ia pun sama saja melakukan perbuatan yang haram. Maka pilihan kita terhadap yang syubhat ini adalah dengan meninggalkannya. Bukannya kita mumpung tidak mengetahui atau ragu-ragu. Karena dengan meninggalkan itulah kita akan bersih kehormatan dan agama kita. Cara semacam ini termasuk menutup jalan berbuat maksiat (saddudz dzara'i). Selain itu, cara tersebut merupakan salah satu jenis pendidikan untuk memandang lebih jauh serta penyelidikan terhadap hidup dan manusia itu sendiri.


(KH. Hilman Rosyad Syihab, Lc, Dewan Syariah DPU Daarut Tauhiid)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar