Jumat, 21 Juni 2013

Salam: "Memberi dan Memaafkan"

“(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik pada waktu lapang maupun sempit, serta orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Ali Imran [3]: 134).

Dalam ayat sebelumnya Allah SWT memerintahkan kaum muslim agar bergegas menuju ampunan dan surga-Nya. Ditegaskan juga, surga itu disediakan untuk al-muttaqîn(orang-orang yang bertakwa). Selanjutnya dalam ayat ini, Allah SWT menjelaskan ciri-ciri dan karakteristik orang yang bertakwa.

Karakter pertama orang-orang yang bertakwa adalah gemar menginfakkan harta mereka. Selain dalam ayat ini, karakter itu juga dijelaskan dalam QS. al-Baqarah [2]: 3 dan adz-Dzariyat [51]: 15-19.

Orang yang bertakwa, menurut ayat ini, bukan hanya mengerjakan perbuatan yang diwajibkan atas mereka. Sekalipun dalam keadaan sulit, mereka tidak berhenti menginfakkan harta mereka. Digambarkan bahwa mereka senantiasa berinfak dalam keadaan apa pun, baik dalam keadaan as-sarrâ’ maupun adh-dharrâ.

Menurut Ibnu Abbas, kata as-sarrâ’ berarti (mudah), sementara al-dharrâ’ berarti (sulit). Riwayat yang lain menuturkan, mereka tidak meninggalkan berinfak dalam dua keadaan itu, baik dalam keadaan kaya maupun miskin, lapang maupun sempit, saat mendapatkan kesenangan dan kebahagiaan maupun ketika tertimpa ujian dan bala (musibah). Pendek kata, mereka senantiasa berinfak dalam semua keadaan, sebagaimana dinyatakan dalam QS. al-Baqarah [2]: 274.

Karakter kedua disebutkan dalam firman Allah SWT berikutnya, yaitu: wa al-kâzhimîn al-ghayzh (dan orang-orang yang menahan amarahnya). Kalimat ini bersambung dengan kalimat sebelumnya. Artinya, perilakunya menahan amarah itu tidak hanya dilakukan sekali atau dua kali, namun telah menjadi bagian dari karakter yang melekat pada diri mereka.

Berkenaan dengan marah, Islam tak hanya memerintahkan umatnya untuk menahannya. Lebih dari itu, syariah juga mengajarkan metode untuk meredakan kemarahan. Rasulullah saw bersabda:“Sesungguhnya marah itu dari setan dan sesungguhnya setan itu diciptakan dari api, sementara api bisa dipadamkan oleh air. Karena itu, jika salah seorang di antara kalian sedang marah, hendaklah dia berwudhu.” (HR. Abu Dawud).

Karakter ketiga dinyatakan dalam firman Allah SWT berikutnya: wa al-‘âfîna ‘an al-nâs (dan memaafkan [kesalahan] orang). Memberikan maaf berarti memberikan ampunan dari menjatuhkan hukuman kepada orang-orang yang sebenarnya berhak mendapatkan hukuman. Di antara contoh pemberian maaf adalah yang disebutkan dalam QS. al-Baqarah [2]: 178. Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa seorang pembunuh bisa mendapatkan maaf dari keluarga korban. Ketika dia mendapatkan maaf dari keluarga korban, dia tidak lagi dijatuhi hukuman qishâsh yang seharusnya dijatuhkan atasnya.

Patut dicatat, membalas kejahatan yang dilakukan seseorang memang dibolehkan. Akan tetapi, syariah menetapkan bahwa memberikan maaf lebih diutamakan (lihat QS. asy-Syura[42]: 40). 

(H. Asep Hikmat, Direktur DPU Daarut Tauhiid)


Sumber: www.dpu-online.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar