Jumat, 02 Agustus 2013

Kisah Remaja Bertumpu Tangan Mengejar Mimpi

Miliaran butiran gerimis baru saja turun. Melengkapi suasana pedesaan yang dingin dan diselimuti kabut. Puluhan hektar ladang siap panen terhampar luas. Memanjakan mata dan membuat siapa pun berdecak kagum karena keindahannya.

Desa Cibeureum. Sebuah desa yang terletak di Bandung Selatan ini merupakan salah satu desa penghasil sayuran yang melimpah. Dari sanalah beragam sayuran dipasok untuk kebutuhan sehari-hari. Tak sedikit warga yang sejahtera karenanya. Namun tak sedikit pula yang masih hidup serba kekurangan. Salah satunya adalah Ai Sulastri (11), remaja perempuan penderita kelumpuhan sejak tujuh tahun lalu.

Ujian Beruntun
Di usianya yang masih belia, Ai harus memikul beban begitu berat. Hari-hari yang seharusnya digunakan untuk belajar dan bermain, malah ia gunakan untuk berdiam diri di rumah. Bukan tak ingin. Ai ingin sekali bisa bermain dengan teman-teman sebayanya. Namun, keterbatasan fisik membuat ia harus menganggap itu semua hanya mimpi.  

Ai menjadi yatim saat usianya baru menginjak tiga tahun. Ayah yang sangat Ai sayangi harus tiada karena liver yang bersarang di tubuhnya. Saat itulah, keluarganya harus ekstra kerja keras mempertahankan kehidupan.

Cobaan rupanya belum berakhir. Setelah sang ayah tiada, Ai kembali terkena musibah. Ai terjatuh dari atas bukit. Walau tidak terlalu tinggi tapi itu semua cukup membuat Ai sakit hingga berminggu-minggu. Demam tinggi tak terelakkan. Ketiadaan biaya membuat anak bungsu dari tiga bersaudara ini dirawat seadanya.

Bukannya sembuh, Ai semakin menderita karena kedua kakinya kaku dan nyaris tak bisa digerakkan. Telapak kakinya semakin membengkak dan menekuk ke dalam. Kemiskinan tak memberikan banyak pilihan. Ai dirawat seadanya. Jika masih memungkinkan, Ai hanya dipijat secara tradisional.

"Bukannya gak mau neng pergi ke dokter teh. Da mau gimana lagi, uangnya gak ada. Paling dipijat aja sama tukangnya dari Pangalengan," ujar Uneng (43), pengasuh sekaligus bibi Ai.

Ai merasa hari-harinya berjalan begitu lama. Apalagi setelah ibu tercinta pergi mencari nafkah ke Arab Saudi. Hari-hari yang biasa diisi dengan menonton televisi dan main dengan saudara-saudaranya, kini bertambah dengan menunggu sang ibu pulang. Ai sendiri tak tahu kapan ibunya pulang membawa mimpi-mimpi yang sangat diidamkan sejak dulu.

Mimpi-mimpi Sederhana
Sama seperti anak lain, Ai pun memiliki mimpi-mimpi yang sangat ingin dicapai. Mimpinya tak muluk-muluk. Sangat sederhana. Ai hanya ingin bisa seperti anak lainnya. Bisa berjalan, bersekolah, dan mengaji. Dengan segala keterbatasannya, Ai masih suka mengaji di masjid yang tak jauh dari rumahnya.

"Ai mah ingin sekolah biar pintar. Terus Ai juga suka mengaji di masjid dekat rumah, " tutur Uneng.

Ditemui di rumahnya yang begitu sederhana, di Kampung Cirawa, Desa Cibeureum, Ai dan keluarga terlihat bahagia. Senyum sumringah terlihat di wajahnya yang polos saat tim Sosial Kemanusiaan Dompet Peduli Ummat (DPU) Daarut Tauhiid datang membawa kursi roda, Kamis (2/2). Benda itulah yang sangat ia butuhkan saat ini. Dengan demikian, Ai tak harus repot-repot berjalan dengan kedua tangan dan menggusur badannya. Ai sekarang sudah bisa bermain di halaman rumahnya.

Tak dapat dipungkiri, Ai begitu merindukan ibu yang sangat mencintainya. Walau sekarang Ai tinggal dengan paman, bibi, dan kedua kakak yang sangat mencintainya, kehadiran sosok ibu begitu diinginkannya.

Setelah nekad berangkat tiga tahun lalu menjadi tenaga kerja wanita (TKW), Ai belum menerima kabar apa pun dari ibunya. Jangankan menerima kiriman uang untuk berobat, kabar keberadaannya juga tak terdengar sama sekali. Berbagai usaha telah dilakukan pihak keluarga, namun hasilnya nihil.

Baginya, mungkin hidup ini dirasa tak adil. Ujian demi ujian seakan tak berhenti menghujani. Namun, sungguh tidaklah demikian. Allah tak semata-mata memberikan ujian, tapi Ia hanya menguji kesungguhan umat-Nya. Inilah bentuk kasih sayang Allah bagi manusia yang senantiasa bersyukur dan bersabar. Sungguh, hanya itulah cara untuk meraih keridhaan Allah. (Astri Rahmayanti/2012)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar